Krinyu yang umumnya dikenal sebagai gulma ternyata mampu mendatangkan pemasukan. Melalui proses sederhana, Komunitas Pertanian Organik UMB Yogyakarta mengubah tumbuhan pengganggu tersebut menjadi penyubur. Pupuk organik ini selanjutnya digunakan sebagai sumber hara utama pada budidaya sayuran dalam polibag. Pemanfaatan krinyu, jelas Rahmat Ariza putra salah satu pengagas kelompok tersebut, dapat mencukupi kebutuhan N, P dan K dan juga menekan biaya produksi hingga 50%.
Krinyu yang diperoleh dengan mudah di sawah, ladang atau lahan kosong diambil bagian batang muda dan daunnya. Selanjutnya, gulma ini dijemur sampai kering. Sebelum diaplikasikan, daun dan batang yang telah menguning ditumbuk atau diremas-remas hingga menjadi bubuk. Pupuk berbentuk serbuk tersebut kemudian dimasukkan ke dalam polibag ukuran 17.5 X 40 cm.
“Polibag-polibag yang sebelumnya telah diisi tanah dan pasir dengan perbandingan 2:1 diberi 100 gram bubuk krinyu,” kata Nuari yang sekarang menjabat sebagai ketua. Lebih lanjut dia memaparkan bahwa setiap polibag dapat ditanami berbagai macam tanaman sesuai selera. “Umumnya kami menanam sayuran berumur pendek yang dibutuhkan banyak masyarakat seperti sawi, selada, bayam, kacang panjang, dan bawang merah,” tambahnya.
Dalam sebulan, ratusan polibag yang tertata rapih di halaman belakang Fakultas Agroindustri UMB Yogyakarta ini mampu menghasilkan ratusan ikat sayur segar organik. Dengan menjualnya langsung kepada ibu rumah tangga, dosen, mahasiswa dan warung makan, kelompok yang didirikan sebagai wadah pembelajaran pertanian organik dan agribisnis ini dapat meraup pendapatan hingga Rp.400,000 untuk satu jenis sayuran yang dipanen.
“Dalam satu musim tanam, kami biasanya menanam beberaja jenis sayur, setiap jenis kami tanam di dalam 200-300 polibag yang masing-masing berisi 2 sampai 10 benih atau bibit, sehingga saat panen dapat dihasilkan 100-150 ikat sayur,” papar mahasiswa Agroteknologi angkatan 2016 ini. Sayur-sayur tersebut selanjutnya dipasarkan seharga Rp.2.000 – Rp. 5.000 per ikat. Seluruh hasil budidaya, dijual dengan harga dan bobot yang serupa dengan sayur yang dijajakan di pasar tradisional dan warung.
Meski dijual murah, keuntungan yang diperoleh dalam satu periode mencapai jutaan rupiah. Tingginya laba disebabkan minimnya modal budidaya sayuran dengan memanfaatkan gulma ini. Kebutuhan biaya terbesar adalah belanja tanah, pasir, polibag dan benih yang dapat digunakan selama 6 bulan. Sisanya, hanya dibutuhkan sekitar Rp.50.000 untuk operasional pencarian 100 kg krinyu yang dapat digunakan untuk 2 musim.
“Karena pupuk padat, cair dan pestisida boleh dibilang gratis disediakan alam, maka budidaya ini cocok bagi pembudidaya berlahan sempit yang ingin berwirausaha atau sekedar memenuhi kebutuhan gizi rumah tangga” rangkum Nuari. Dia juga menganjurkan agar peminat membuat sendiri suplemen pupuk organik cair dan pestisida nabati. “Sangat mudah membuat POC dan PESNAB, bahan-bahannya dapat ditemui diperoleh dari sekitar rumah seperti daun glereside, sereh, empon-empon, air leri dan sebagainya,” tambahnya.
Selama hampir setahun menggeluti organic urban farming, organisasi yang dibina langsung oleh Dekan Fakultas Agroindustri, Ir. Wafid Dinarto, M.Si belum menemukan kendala yang berarti. Sejauh ini hambatan yang ada berasal dari cuaca dan hama. Saat musim hujan, sayuran perlu disungkupi agar tidak busuk. Penutup sederhana yang terbuat dari plastik dan bambu berbentuk setengah lingkaran ini juga berfungsi sebagai pelindung dari serangan belalang. Piranti ini terbilang murah, hanya menghabiskan biaya Rp.100.000 untuk 3 sungkup yang mampu menampung 700 polibag hingga kemarau tiba.
Seperti model pertanian lainnya, kunci keberhasilan budidaya sayur organik dalam polibag ini adalah ketelatenan dalam merawat tanaman. Pemberian pupuk krinyu secara rutin setiap 2 kali periode tanam, penyemprotan pupuk organik cair secara teratur dua kali sepekan, penyiraman harian dan penyiangan gulma adalah hal-hal yang harus diperhatikan agar hasil panen optimal.