Dunia pendidikan di Indonesia kembali digemparkan oleh fenomena penganiayaan seorang pelajar kelas XI di SMA N 1 Torjun, Sampang yang berinisial MH hingga tewas setelah tiba di rumah sakit (Tribun News, Jumat, 2 Februari 2018). MH diamankan karena menganiaya guru bernama Ahmad Budi Cahyono, salah satu guru honorer di sekolah tersebut. Peristiwa ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Sebelumnya, seorang mahasiswa membunuh dosennya di UMSU (Universitas Medan Sumatera Utara). Nurain Lubis (63) sang dosen yang dikenal baik itu ditikam hingga tewas justeru oleh mahasiswanya sendiri (DetikNews, Selasa 03 Mei 2016). Mahasiswa Semester VI FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) berinisial RS itu menganiaya korban karena kerap memberikan peringatan akan memberi nilai jelek bila tersangka tidak serius mengikuti mata kuliah yang diajarkannya.
Suprihatin, guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) 7 Pelaihari, Tanah Laut, Kalimantan Selatan, terpaksa dirawat di RSUD Hadji Boejasin Pelaihari karena dianiaya orang tua murid. Suprihatin mengalami luka di bagian lengannya setelah dua wanita yang merupakan orang tua murid dan kerabatnya melakukan penganiayaan di halaman SDN 7 Pelaihari, pada hari Rabu 4/10/2017. Penganiayaan tersebut diduga karena teguran sang guru kepada anak didik yang tidak menggunakan sepatu. (SindoNews.com, Rabu, 4 Oktober 2017).
Di Makasar seorang anak dan ayahnya pada hari Rabu 10 Agustus 2016 menganiaya guru Menggambar di SMKN II Makasar bernama Dasrul. Dasrul mengajar gambar teknik di kelas 2 pada Pukul 8.30 meminta siswa mengeluarkan buku gambar. Salah satu siswa berinitial MAS tidak membawa buku gambar. Guru Dasrul menegurnya, namun si siswa malah marah sambil berteriak-teriak sehingga guru Dasrul mendatangi MAS dan memukul bahunya. MAS makin marah, dia mengajak gurunya berkelahi di luar kelas namun tidak ditanggapi. Akhirnya MAS menelpon ayahnya dan mengeroyok korban (Okezon.com, Rabu 10 Agustus 2016 ). Konon orang tua siswa tersebut divonis satu tahun penjara.
Peristiwa penganiayaan terhadap guru, baik dilakukan oleh siswa, orang tua, atau sebaliknya guru menganiaya siswa, siswa menganiaya siswa relatif banyak dijumpai di negeri ini. Peristiwa sebagaimana diuraikan di muka hanyalah sebagian kecil yang ‘tercium’ media massa dari sekian banyak fenomena yang terjadi sebenarnya. Artinya, jika mau mengritisi perihal penganiayaan yang terjadi di dunia pendidikan, sudah saatnya sistem pendidikan ditinjau kembali. Harus diakui bahwa selama ini pendidikan di Indonesia baru sebatas retorika teoretis dalam mengamalkan empat pilar pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) yaitu cabang organisasi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) yang mengatur bidang pendidikan, keilmuan, budaya dan komunikasi. Empat pilar tersebut adalah “learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together” yang oleh berbagai bangsa lain telah diamalkan secara konsisten dan konsekuen. Bagaimana dengan kita, apakah semua institusi pendidikan di Indonesia sudah mengamalkannya?
Empat pilar sebagaimana tersebut di atas tentunya bukan hal yang bisa disepelekan implementasinya, mengingat telah disepakati bersama dalam suatu konvensi internasional. Mengacu pada empat pilar tersebut di atas, pendidikan mestinya bukan hanya mampu mengarahkan peserta didik pada penguasaan keilmuan (knowing) dan implementasinya (doing) namun juga seharusnya mampu membentuk manusia yang berkepribadian normatif (being) serta mampu beradaptasi dan bertoleransi di manapun, di lingkungan manapun mereka berpijak atau berada (living together). Hasil pendidikan di Indonesia secara nyata masih menunjukkan kelemahan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki budi pekerti luhur yang mampu menghormati orang lain, bahkan terkadang hak-hak orang lain pun dibaikan.
Banyak contoh yang terjadi disekitar kita yang sudah biasa kita alami sehari-hari, misalnya dalam berlalu-lintas, berkendara, merokok di depan umum, meludah di jalan saat berkendara, membuang sampah sembarangan, mencaci-maki orang lain secara tidak proporsional, mengeraskan knalpot kendaraan, membunyikan klakson keras-keras saat jalanan macet. Semua kejadian ini tidak pernah terjadi di ibukota negara-negara yang pernah penulis kunjungi seperti: Australia, Nepal, Phlippines, Oman, Abu Dhabi dan Jepang. Demikian juga mungkin di negara-negara maju lainnya. Lalu apakah yang salah dengan pendidikan kita?
Hemat penulis, permasalahan pendidikan di negara ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut. Pertama, sistem pendidikan masih menitikberatkan pada aspek ‘knowing’ dan ‘doing’ dan belum secara konsisten dan konsekuen berfokus pada penanaman pilar aspek ‘being’ (sikap atau perilaku normatif) dan ‘living together’ (menyesuaikan diri dengan lingkungan atau bertoleransi) dalam lingkup kependidikan di Indonesia. Kedua, sistem pendidikan di Indonesia selama ini belum secara serius menyentuh dua pilar penanggung jawab pendidikan, yang seharusnya ditanggung oleh keluarga (pendidikan informal) sebagai basisnya, masyarakat (pendidikan non-formal) dan sekolah (penddidikan formal). Ketiga, mindsed sebagian masyarakat di Indonesia yang masih menilai bahwa perilaku lulusan identik dengan hasil pendidikan formal. Keempat, harus diakui bahwa di dalam proses pendidikan kita, masih banyak terjadi bias atau penyimpangan sebagai akibat dari kurang profesionalnya sumberdaya institusi pendidikan di berbagai tataran. Sebagai contoh, guru atau dosen yang mengajar bukan di bidangnya dan celakanya lagi belum pernah belajar bagaimana mendidik dan mengajar. Kelima, terkesan adanya pembiaran terhadap mal-administrasi akreditasi institusi sehingga menghasilkan mutu pendidikan yang bias. Keenam, masih banyak orang tua yang kurang peduli terhadap perilaku anggota keluarganya, juga kurangnya peran masyarakat dalam ikut serta melakukan pendidikan normatif kepada warganya.
Penulis menyadari, solusi permasalahan tersebut di atas sangat tidak mudah dilakukan seperti membalik tangan. Namun demikian, tentu saja ini menjadi tugas kita bersama untuk membenahi bukan hanya mutu namun juga tentang cara berperilaku dalam kehidupan bersama di setiap lingkungan kehidupan. Paling tidak, masing-masing elemen ketiga pilar yaitu keluarga, institusi pendidikan dan masyarakat saling bahu membahu secara bertanggung jawab dalam rangka mendidik generasi penerus bangsa ini agar hidup normatif, selain cerdas dan agamis. Semoga!