Mahasiswa Fikom UMB Yogyakarta Dukung Terciptanya Masyarakat Literated
21 Jan 2013
2341
by Admin Demo

(19/1) Bukan televisi yang bersalah terhadap degradasi moral anak bangsa; terhadap sikap apriori masyarakat terhadap pemerintah serta lingkungannya; namun program televisi yang tidak berkualitaslah yang semestinya kita kritisi. Karenanya maka pengetahuan akan literasi media sejak dini untuk menumbuhkan sikap kritis pada masyarakat penonton televisi menjadi hal yang sangat penting. Hal ini lah yang kemudian menjadi kegelisahan dan mendorong Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi dan Multimedia Universitas Mercu Buana (UMB) Yogyakarta sebagaimana disampaikan oleh Anastasya Betty (Ketua Panitia) untuk menyelenggarakan Talkshow dan Kompetisi Karya Literasi Media “TV-Ku Tak Bersalah” dengan menghadirkan pembicara Ahmad Ghozi Nurul Islam, S. Fil selaku anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY, serta Risa Karmida yang merupakan Kepala Biro Metro TV Yogyakarta.

Dalam acara yang diikuti oleh perwakilan pelajar serta guru SMA seDIY ini, Ahmad Ghozi  menyampaikan bahwa televisi sebagai media yang diakses dan dinikmati oleh sedemikian besar masyarakat, bisa mendatangkan berkah maupun marabahaya, karenanya maka kemampuan masyarakat untuk melakukan literasi media menjadi penting. “Literasi media yakni bagaimana mempersepsikan secara aktif (cerdas) arti dari pesan yang disampaikan oleh media dalam tayangannya”, terang Ghozi. Selanjutnya, kata Ghozi, menyikapi tanyangan televisi yang menyajikan keburukan, pemirsa dapat memberikan punishment, minimal dengan tidak menontonnya atau dalam tataran yang lebih tinggi yakni dengan mengadukannya ke KPI.

KPI yang terlahir setelah Departemen Penerangan (Deppen) di bubarkan pada era Gus Dur ini, lanjut Ghozi, seperti berada dalam dua kaki. “Ketika KPI terlalu kuat, kemudian apa bedanya dengan Deppen. Sedangkan ketika media dibebaskan, masyarakatlah yang menjadi korban”, jelasnya. Karenanya, maka menurut Ghozi, keberadaan KPI ini menjadi saluran bagi masyarakat untuk dapat menyampaikan aduannya secara tidak anarkhis.

 Sementara Risa Karmida dalam pemaparannya menyampaikan bahwa tidak ada media manapun yang netral, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Karena dalam media dianut teori media setting yakni teori bagaimana agar apa yang disampaikan / ditampilkan ini sudah direncanakan sebelumnya. “Dengan kata lain, media pengen pemirsa berpikir apa lewat tayangannya”, terang Risa. Karenanya, Risa menandaskan agar pemirsa harus cerdas dalam menangkap tayangan di media. (Lilik Purwanti-Humas UMB Yk)