ANGUDI MULYANING BANGSA
Pendahuluan
Doktrin atau kredo  âAngudi Mulyaning Bangsaâ dibaca di dalam lambang Unwawa. Doktrin ini dapat dianggap sebagai pernyataan ciri khas universitas, untuk membedakan dengan ciri PTS lain. Ada yang menyatakan âKampus Kebangsaanâ. Ada pula âPrepare You For a Brighter Futureâ. Ada pula âKampusnya Orang Berdasiâ. Secara formal doktrin semacam ini perlu penjelasan resmi dan rinci dari Yayasan Pendidikan yang menaungi operasional universitas, sebagai petunjuk manajemen Rektor dan Dekan mengelola PTS dan Ketua Program Studi mengelola pendidikan pada arasnya masing-masing. Secara formal ada penjelasan tentang lambang di dalam Statuta Universitas. Namun penjelasan itu dianggap tidak cukup karena secara prosedural penjelasan itu merupakan operasionalisasi konsep, filsafat atau landasan dasar atau apapun namanya yang ditulis oleh pendiri PTS.Â
v    Lambang didominasi gunungan wayang Jawa berwarna kuning. Hal ini menunjukkan bahwa posisi Unwama berada di dalam budaya Jawa, sehingga management style â nyapun sangat mungkin harus bernuansa Jawa. Di pewayangan, gunungan itu muncul sebagai pembatas antara peristiwa terdahulu dengan peristiwa yang akan datang, atau untuk menggambarkan âawalâ suatu peristiwa.  Warna kuning agaknya asing bagi gunungan, namun nuansa pada waktu Unwama dibangun adalah dominasi Golongan Karya yang memiliki berdera organisasi (kekaryaan) berwarna kuning. Warna kuning agak menyesakkan karena warna kesuburan adalah hijau dan kuning adalah warna gersang. Atau, disinikah pesan pendidi PT ini, yaitu mengubah dari yang semula gersang menjadi subur? Disinilah perlunya penjelasan resmi Pendiri PTS, untuk menghindarkan multi tafsir lambang.
v    Didalam lambang ada buku terbuka. Gambar ini bermakna ganda: untuk ditulisi atau untuk dibaca - oleh civitas acedemica. Proses penulisan adalah pencatatan atas ilmu, pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh PTS dan proses pembacaan adalah PTS tidak dapat melepaskan diri dari akar budaya dan sosial masyarakat. Secara umum maknanya sama yaitu Unwama berusaha untuk mengembangkan sebuah masyarakat yang selalu belajar (learning society), yang akhirnya akan membentuk masyarakat berpikir (thinking society), bukan masyarakat emosional (tawuran).Â
ÃÂ Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Bila buku itu siap ditulisi, pesannya adalah kinerja atau prestasi civitas academica akan ditulis untuk disebar luaskan kepada masyarakat.
ÃÂ Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Bila buku itu akan dibaca, maknanya adalah sebagai sebuah masyarakat berpikir, harus selalu belajar.
v    Gunungan dikelilingi padi dan kapas. Lambang padi dan kapas berasal dari lambang negara. Keduanya adalah  lambang kemakmuran. Beras â padi khususnya pangan, menggambarkan  cita-cita kecukupan pangan dengan memproduksi didalam negeri di atas tanah wilayah Indonesia. Kapas â sandang menggambarkan cita-cita kecukupan sandang yang juga diproduksi dari tanah Indonesia. Sikap patriotisme menonjol dengan adanya dua gambar ini.
v    Semuanya dilingkup di dalam sebuah segi lima,  menggambarkan bahwa secara operasional, Unwama selalu bekerja dibawah payung Pancasila (dengan lima silanya secara utuh yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk yang sudah di amandemen).Â
Nampaknya juga tidak ada satu gambar resmi tentang lambang itu. Ada gambar yang menunjukkan lingkaran di luar segi lima tersebut. Ada pula gambar tanpa lingkaran penutup.  Secara bebas, logo itu dapat dimaknai dengan arti: angudi = ikut berusaha; mulyaning = kemuliaan; bangsa = bangsa Indonesia > bahwa perkhidmatan civitas academica Unwama adalah âikut berusaha memuliakan bangsa Indonesia, dengan berdasar pada pengembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat dan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat agar mereka mulia, dalam semangat patriotisme, berdasar konstitusi negaraâ.   Berdasar interpretasi itu doktrin âAngudi Mulyaning Bangsaâ dapat dilaksanakan dengan proses dan sistem pendidikan berdasar doktrin âMenyiapkan Pemimpin Masa Depanâ â âNurturing Future Leadersâ
Interpretasi atas logo itu dapat didesktisp lebih lanjut, bahwa sebagai sebuah lembaga pendidikan (learning institution), posisi Unwama tidak statis melainkan dinamis karena harus tanggap (responsive) atau bahkan memimpin (leading) atas perubahan teknologi dan sistem manajemen. Untuk mencapai kemakmuran (lambang kapas dan padi) diperlukan personnel terdidik dan terlatih, teknologi, sistem manajemen dan sistem administrasi yang selalu dinamis berubah menyesuaikan dengan kondisi masa kini, kontemporer. Secara kasat mata, teknologi selalu berubah dan bahkan sangat dramatis[1]. Demikian pula dengan sistem manajemen dan sistem administrasi. Yang terakhir ini makin akrab dengan information technology berbasis komputer[2]. Disamping itu logo juga mengarahkan bahwa Unwama adalah sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat (empowering institution).
Dalam kondisi tersebut dosen dan mahasiswa (sebagai pelaku proses learning dan empowering) dituntut untuk makin intensif belajar secara mandiri. Mahasiswa tidak lagi dapat mengandalkan pada dosen sebagai sumber ilmu[3]. Sebaliknya, dosen perlu mengubah diri dari âsumber ilmuâ menjadi learning manager atau learning facilitator yang menunjukkan kepada mahasiswa tentang proses dan arah belajar yang benar. Di era information technology, dosen bukan lagi satu-satunya otoritas keilmuan dan sumber ilmu dan pengetahuan. Di dalam internet, informasi dan ilmu sangat banyak, hanya menunggu untuk di download oleh pembacanya, termasuk mahasiswa.
Bangsa Mulia
 Para civitas academica Unwama sebagai pemegang amanat - perlu sepakat dahulu arti atau apa yang disebut atau apa yang dikandung di dalam konsep âkemuliaan bangsaâ.  Secara umum, misi utama Unwama dan semua perguruan tinggi di Indonesia adalah melakukan pendidikan tinggi dengan elemen pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ketiganya disebut tridharma perguruan tinggi[4].  Dengan tiga elemen dasar ini semua aktivitas civitas academica (dosen dan mahasiswa) yang dilayani oleh staf administratif, diarahkan untuk suksesnya tiga misi tersebut. Maksud dari tridharma adalah bahwa mahasiswa tidak hanya terbatas belajar di bangku kelas saja, melainkan terlibat di dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (dengan konsep Angudi Mulyaning Bangsa, pengabdian kepada masyarakat dipahami sebagi pemberdayaan masyarakat). Kegiatan penelitian oleh mahasiswa umumnya dimaknai secara sempit dengan memberikan porsi penulisan tugas akhir atau lebih dikenal dengan skripsi (mengarang, script = menulis). Dengan konsep tridharma, mahasiswa aktif dilibatkan di dalam penelitian yang dilakukan oleh dosen, dengan kadar bimbingan dosen.
Dengan berbasis pada hasil penelitian, tujuan pendidikan adalah mengajarkan kejujuran dan pengertian dalam arti faktual konsep âapa adanyaâ â bahwa fakta adalah fakta[5].  Salah satu aspek dari sebuah learning society adalah kepatuhan pada suatu kondisi nyata yang hidup di masyarakat. Masyarakat memiliki aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis (bolehlah yang kedua ini disebut âadatâ). Masyarakat umumnya rela tanpa paksaan tunduk dan patuh pada aturan tertulis dan tidak tertulis itu. Misalnya di dalam berlalu lintas, mereka tidak akan melanggar marka jalan dan rambu lalulintas. Ketundukan dan kepatuhan itu terbit karena semua pihak mendapat manfaat darinya. Bila mereka melanggar rambu-rambu pasti ada penyebab eksternalnya, misalnya penegakan hukum yang tidak sungguh-sungguh, sporadis atau pilih kasih (istilah terbarunya âtebang pilihâ).
Beberapa pakar menilai bahwa dua hal ini adalah ukuran paling rendah dari sebuah masyarakat beradab. Namun tetap saja ada paradox perilaku. Bila marka jalan dan rambu lalulintas tetap saja dilanggar, dipastikan untuk urusan-urusan lain yang lebih besar sifatnya, akan terjadi pelanggaran aturan dan kesepakatan. Apalagi pelanggaran aturan lalulintas dan marka jalan dipandang sebagai perbuatan âberaniâ meskipun bernuansa âtololâ. Jujur dan patuh aturan adalah salah satu ciri modernitas sebuah masyarakat yang siap menjadi sebuah masyarakat pembelajar (learning society). Dampak patuh pada aturan adalah sikap egalitarian (rasa memiliki hak sama, demokratis, semua orang penting) pada seluruh warga[6]. Berdasar pada terbentuknya sikap egalitarian ini, anggota masyarakat yakin bahwa semua sama di depan hukum.  Sayangnya kondisi kesamaan didepan hukum ini belum seluruhnya terjadi, sehingga proses pembentukan masyarakat egaliter dan selanjutnya masyarakat demokratis dan masyarakat pembelajaran belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Dewasa ini semua pihak (pemerintah-eksekutif, legisatif, hamba hukum â polisi, jaksa, hakim) masih bekerja dan berusaha merealisasikan kondisi kesamaan hukum tersebut, ditengah ketimpangan kualitas penegak dan penegakan hukum.Â
Dengan konsep ini nampak lebih jelas bahwa misi pendidikan Unwama adalah menghasilkan lulusan yang dapat menjadi anggota masyarakat dalam kelompok akademik (dan/atau profesional), yang mampu menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai akademik (dan/atau profesional), sebagai manifestasi dari konsep ikut membangun kemuliaan bangsa. Konsep ini menegaskan tolok ukur bekerhasilan pendidikan di Unwama, yaitu perkhidmatan akademik (dan/atau profesional) lulusan itu mampu ikut membawa ke posisi bangsa yang makin mulia. Sedangkan âkemuliaan suatu bangsaâ dapat digambarkan bila warga bangsa itu tidak bodoh, tidak terbelakang, tidak malas dan tidak miskin serta semua elemen yang dapat menghambat proses kemuliaan tersebut. Sekeluar seseorang dari pendidikan di Unwama, dia tidak akan gagap teknologi yang selalu berkembang pesat dan sering kali meninggalkan teknologi yang baru kemarin digelutinya, berkat konsep otodidakisme yang dijalaninya selama di Unwama. Tuntutan konsep âAngudi Mulyaning Bangsaâ adalah lulusan Unwama mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya dan bertanggung jawab atas kinerjanya itu. Proses pengembangan ânilai akademik dan atau nilai profesionalâ dikawal dengan proses otodidakisme.
Sebagai anggota masyarakat, lulusan Unwama berperan serta ikut mengubah masyarakat yang semula âtidak muliaâ menjadi âmasyarakat muliaâ. Sebagai angggota masyarakat seorang lulusan (alumni) Unwama secara sukarela berperan sebagai ujung tombak pemanusiaan manusia, atau sebagai agen pembangunan manusia. Tugas atau peran ini mendorong para peserta didik di Unwama untuk membekali diri dengan ilmu, pengetahuan dan teknologi (hardskill) dengan ilmu bergaul di masyarakat, ilmu membangun konsensus di tengah masyarakat dan ilmu-ilmu lainnya (softskill) untuk mengubah masyarakat yang semula jumud dan terbelakang, dependen, kurang harga diri, mudah tersulut marah, mudah menyerah atau putus asa, menjadi bangsa mulia dengan elemen masyarakat terdidik, tahan uji, kreatif dan masyarakat berpikir. Kemampuan ini diperlukan oleh para alumni karena kepemilikan ilmu, pengetahuan dan teknologi bukan untuk dimiliki oleh suatu individu. Sebaliknya, sebagai alumni Unwama, individu itu bertugas pula menyebar luaskan ilmu, pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat, sebagai prasyarat bagi proses pemberdayaan masyarakat. Â
Bangsa miskin
Pak Haji Probosutejo, ketua Yayasan Pendidikan Wangsa Manggala, menyebutkan bahwa sampai saat ini bangsa Indonesia masih dihinggapi penyakit malas. Mungkin pak Probo melihat banyaknya pengamen di lampu lalulintas, banyaknya pengatur lalulintas swasta dan banyaknya tukang parkir liar. Atau juga oleh berbagai kenyataan di masyakarat. Analisa pak Probo, awalnya, penjajahan selama bertahun-tahun[7] menjadikan bangsa Indonesia terbelakang. Penjajahan juga memiskinkan bangsa Indonesia dan menyebabkan bangsa Indonesia bodoh dan sekaligus malas[8]. Penyakit baru yang timbul akhir-akhir ini adalah kemlinthi yaitu ârumangsa bisaâ- merasa mampu, namun tidak dapat âbisa rumangsaâ â mampu menyadari keterbatasannya. Elemen yang disebut pak Probo sebagai biang bangsa tidak mulia adakah keterbelakangan, kebodohan, kemalasan, kemiskinan dan kemlinthi[9]. Lalu, kalau dilihat sekeliling, dampak atau akibat âlima Kâ adalah kelaparan merajalela (sampai disebut âbusung laparâ sebuah kondisi yang sudah sangat papa di negara yang dijuluki zamrud katulistiwa dan dipuja oleh Koes Plus âranting jadi tanamanâ), penyakit yang tidak terberantas (dengue fever atau demam dengue, lumpuh layuh, malaria). Jangan ditanya lagi berbagai penyakit karena malnutrisi. Dari segi makro, bangsa Indonesia juga tidak mampu menghidupi diri sendiri;. pangan pokok (beras, gula, kedelai, susu, jagung dan sekarang buah-buahan) masih diimpor, dalam jumlah yang sangat besar. Paradoxnya di musim tertentu, harga hasil pertanian produk nasional merosot tajam sehingga petani menderita berkepanjangan. Padahal kondisi ini sudah menahun, karena selalu berulang â dan tidak ada solusi. Sebaliknya pada suatu kondisi harga hasil pertanian tinggi, petani dikejar oleh harga pupuk produksi nasional yang makin tinggi pula. Nampaknya pemerintah sebagai pengelola negara dan masyarakat tidak mampu berbuat untuk mencegah bencana kronis tersebut, sehingga terlihat seolah-olah bangsa ini terperosok ke lubang yang sama, dari tahun ke tahun. Orang bijak mengatakan bahwa we never learn.
Dari sisi pertanian, sikap kemlinthinya adalah membebaskan impor buah dan semua produk pangan dengan dalih âpatuhi kesepakatan WTOâ, tidak  berdaya mencegah tekanan WTO yang sangat mungkin merugikan petani dan pertanian nasional[10]. Padahal negara maju justru menggunakan WTO untuk keuntungan dirinya sendiri, antara lain melindungi sektor pertaniannya dari persaingan produk pertanian import.  Makin banyak kejadian yang menunjukkan bahwa meski sudah ada âkesepakatan WTOâ negara maju justru melindungi petaninya. Karena itu wajar saja bila beberapa tahun yang lampau ada âperang pisangâ antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat, karena salah satu partner dagang melindungi petaninya. Bagi mereka, petani adalah salah satu pemain ekonomi yang tidak akan mampu bersaing di pasar global pola WTO. Bab berikutnya akan mendeskripsi peran dominan petani di dalam perekonomian suatu negara industri maju. Sikap kemlinthi beberapa pemimpin dan petinggi negara agraris seperti Indonesia, menunjukkan ketidaktahuan atau ketidakacuhan maksud terselubung negara maju yang tetap menghendaki negara terbelakang tetap terbelakang dan tidak maju. Para pemimpin yang kemlinthi tidak memahami bahwa negara maju sedang berusaha untuk menciptakan iklim âketergantunganâ negara berkembang kepada mereka[11].
Salah satu sikap kemlinthi yang lain adalah terus-menerus melakukan hutang luar negeri dengan dalih âuntuk mendanai pembangunanâ. Padahal, utang itu hanya untuk menutupi ketidak mampuan para pemimpin menggali kemampuan bangsa membangun tanpa hutang. Konsep âberhutang untuk membangunâ ini menunjukkan bahwa seolah-olah bangsa Indonesia tidak mampu membangun tanpa utang. Para pembesar negara dewasa ini mungkin lupa bahwa semangat perjuangan 1945 justru menekankan pada kemampuan sendiri untuk mengisi kemerdekaan ini. Para founding fathers bersemangat mengisi kemerdekaan ini dengan kemampuan sendiri,  bukan dengan hutang. Dari pandangan ini nampak bahwa pemerintahan Orde Baru dan Orde Reformasi, mengkhianati landasan pikiran para founding fathers[12] sewaktu memprokamasikan Indonesia. Padahal bila dipikir dengan agak jernih, pembangunan yang dibayar dengan hutang justru akan menggerogoti hasil pembangunan  itu sendiri, karena hasil pembangunan itu kemudian harus digunakan untuk membayar pokok dan bunga hutang.
Kiat pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah menggunakan hasil pembangunan masa kini sebagai landasan bagi pembangunan di masa depan. Disini nampak kelirunya konsep pembangunan di Orde Baru dan Orde Reformasi, yang menyandarkan kepada hutang untuk membangun. Konsep itu meremehkan kemampuan warga bangsa dan kehendak berpartisipasi membangun pada warga bangsa, untuk membangun masa depan yang lebih baik dengan kekuatan dan kemampuan sendiri. Pembangunan tanpa hutang akan menjadikan bangsa ini mampu hidup wajar, hemat dan tidak berlebihan. Kehormatan yang diberikan oleh negara tetangga kepada suatu bangsa adalah justru pada kesederhanaan itu, bukan kemewahan dari hasil pembangunan fisik yang dibiayai oleh hutang.
Pemerintahan Orde Baru menggunakan konsep âpembangunan untuk rakyatâ dan bukan âpembangunan bersama rakyatâ. Konsep pertama bersifat otoriter (karena yang membangun adalah âpemerintahâ dan rakyat ssebagai penerima hasil pembangunan). Konsep kedua bersifat egaliter karena yang membangun adalah semua elemen bangsa. Konsep kedua ini akan bermakna pada harga diri suatu bangsa. Setiap insan yang mampu mandiri dengan bantuan minimum (bukan dengan hutang berkepanjangan) pastilah memiliki rasa harga diri yang lebih tinggi dari pada suatu bangsa atau idividu yang seumur hidupnya bergantung pada hutang dan pada belas kasihan bangsa lain. Â
           Kesimpulan paparan ini adalah bahwa sebaiknya kebiasaan berhutang itu dihapuskan dan sebaliknya pemerintah mulai mengusahakan untuk memobilisasai dana dan daya masyarakat untuk membangun dengan kekuatan sendiri. Mungkin hasil pembangunan fisik tidak begitu spektakuler namun hasil pembanagunan dari segi mental spiritual akan sangat signifikan karena mengembalikan harga diri suatu bangsa.Â
Dampak buruk berhutang: matinya kreativitas
Ironisnya, menghadapi bencana alam dan bencana akibat keteledoran manusia (contoh paling aktual adalah keteledoran eksplorasi penambangan sehingga menimbulkan mega-musibah âLumpur Lapindoâ, kapal karam, pesawat terbang jatuh dan hilang, kereta api tergelincir, bus tabrakan) yang selalu berulang, nampak pemerintah tidak mampu berbuat apapun. Namun ada pula sebuah contoh bagus. Misalnya Pemerintah kabupaten Bantul. Sebagai daerah agraris dan ruralis, harga produk pertanian hortikultura (sayuran khususnya bawang merah dan cabai) berfluktuasi sesuai dengan kuantitas produksi. Manakala produksi tinggi, harga rendah. Begitu sebaliknya.  Pada saat harga komoditas pertanian merendah, justru pemerintah kabupaten masuk untuk memyelamatkan petani, membeli produksi yang berlebihan itu. Pada saat harga tinggi, pemerintah dapat menyarankan kepada petani untuk berhemat.Â
Ada pula kasus pula daerah transmigrasi yang pada wilayah tertentu mampu memproduksi pangan dalam jumlah besar.  Namun para transmigran tetap tidak sejahtera, berhubung mereka tidak mampu menjualnya ke kota hanya karena tidak ada sarana transportasi. Juga Bulog tidak mampu menjangkau petani sehingga fluktuasi harga beras terus terjadi. Petanilah yang selalu dirugikan. Nampak tidak ada tindakan dari  Bulog atau dari DepTan. Karena petani adalah soko guru ekonomi nasional, sebaiknya paradigma pembangunan pertanian diubah untuk lebih menguntungkan petani sebagai produsen. Hal ini nampaknya sudah dipikirkan oleh Presiden SBY, sehingga yang lebih urgen adalag perlunya implementasi pemikiran itu.
dut pandang berbeda, terjadi juga kekurangan fasilitas pemukiman atau rumah, sehingga masih sangat banyak warga negara yang berumah di bantaran kali atau di kuburan tua, disela nisan. Bila hujan, air melimpah, ârumahâ tergenang, mengungsi. Bermukim di bantaran atau kuburan tua pastilah sebuah keterpaksaan, karena kawasan itu memang bukan kawasan pemukiman. Mereka terpaksa bermukim disana karena tidak mampu membeli lahan untuk membangun rumah. Padahal bantaran kali pastilah rawan banjir. Diwaktu banjir, anak-anak mereka tidak dapat bersekolah. Padahal sejarah nasional menunjukkan bahwa cikal bakal (pemikir dan pelaku proses) kemerdekaan adalah pemuda terdidik yaitu para mahasiswa yang belajar di luar negeri sejak sebelum Perang Dunia II.
Akhirnya, ketidak mampuan anak-anak miskin bersekolah, masyarakat miskin akan kembali pada siklus âlima Kâ tersebut. Masalah ini diperberat dengan ketidakmampuan pemerintah menjediakan sekolah murah dan energi dengan harga terjangkau bagi warga negara[13]. Kalaupun ada, harganyapun mahal sekali. Belum lagi ada program konversi dari minyak tanah ke gas. Padahal massyarakat baru saja selesai melakukan konversi konsumsi kayu bakar ke minyak tanah. Demikian juga dengan pendidikan. Surat kabar hampir selalu memuat gedung sekolah rusak, buku tidak ada â kalaupun ada, dijual oleh sekolah dengan harga yang sangat mahal. Padahal praktek itu melanggar ketetapan DepDikNas, orang tua dipaksa membeli buku di sekolah[14]. Semua itu terjadi di SD dan SMP, dua sekolah yang seharusnya terjangkau oleh setiap siswa (anak umur sekolah) berhubung kebijakan pemerintah adalah âwajib belajar sembilan tahunâ.
           Jadi ada dua elemen yang harus dihapus agar bangsa ini mulia yaitu: (1) penyakit keterbelakangan, kebodohan, kemalasan, kemiskinan dan kemlinthi, dan (2) tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar bagi seluruh warga negara: pangan, kesehatan, energi, pendidikan. Pendidikan yang menghasilkan sumber daya manusia sama halnya dengan membangun modal untuk pembangunan nasional. Pemerintah dapat memfokus pada penyediaan pangan di dalam jumlah mencukupi dan persebaran merata (diproduksi dari lahan Indonesia, ikan ditangkap dari laut Indonesia), papan (diproduksi dari lahan Indonesia), kesehatan dan energi (apalagi Tuhan memberkati Indonesia dengan kelimpahan tambang minyak dan batubara). Semuanya itu, bila terjangkau dalam harga dan tersedia dalam jumlah dan mutu, adalah modal bagi keluarga dan anak bersekolah dengan tenang.
Bangsa mulia
Sebagai sebuah konsep, secara obyektif dapat didefinisikan bahwa bangsa mulia adalah bangsa yang dengan kekuatan dan kemampuan sendiri mampu menghapus stigma terbelakang, bodoh, malas, miskin dan kemlinthi [15]. Pilihannya adalah:
1.        Memproduksi pangan dalam jumlah cukup atau berlebihan sepanjang waktu â antar waktu dan antar kawasan di kawasan kebangsaan â untuk membangun kepercayaan diri sebagai bangsa berdaulat;
2.        Menyediakan papan (pemukiman) layak bagi seluruh warganegara;
3.        Menyediakan fasilitas pendidikan dengan biaya terjangkau bagi seluruh anak bangsa;
4.        Menyediakan pelayanan kesehatan dan air serta lingkungan bersih;
5.        Menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi perkembangan intelektual dan spiritual insani bagi seluruh warga bangsa.
Di masa lampau pemerintah Orde Baru berkiat dengan trilogi pembangunan: stabilitas keamanan, pertumbuhan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Namun pemerintah Orde Baru lupa bahwa elemen utama mencapai trilogi pembangunan tersebut  adalah mutu sumber daya manusia yang seharusnya makin mampu berkarya dan bertanggung jawab atas karyanya. Sayangnya, stabilitas keamanan Orde Baru dikotori dengan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Lagipula, pertumbuhan ekonomi menjadi primadona sehigga merusak segala pertimbangan rasional, sosial, obyektif dan patriotik (memihak rakyat).  Pada saat sama pendidikan tidak membentuk insan tangguh dan berani berjuang, melainkan ternina bobok oleh hutang.
Pada waktu itu pemerintah Orde Baru memuja âpertumbuhan ekonomiâ at all cost, bahkan berutang dengan tidak tanggung-tanggung. Akibatnya lingkungan rusak, hutan hancur, bahan bakar minyak habis, petani kehilangan sawah[16].  Namun karena mudah memperoleh dana, pemerintah juga tidak belajar cara manajemen dana dengan bijak[17]. Ada desas desus bahwa sawah sudah berpindah milik dari orang desa ke orang kota. Dimasa itu ada pejabat sangat tinggi yang berujar bahwa ârakyat tidak ikut membangun negaraâ â âyang membangun negara adalah negaraâ. Pejabat tersebut lupa bahwa amanat pembangunan yang dimuat di dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 (sebagai landasan struktural dalam bernegara) adalah menyejahterakan rakyat. Dia berpendapat bahwa yang benar adalah âmembangun untuk rakyatâ, bukan âmembangun bersama rakyatâ. Kiat pertama mengembangkan sikap rakyat menjadi penonton pembangunan. Kiat kedua mengembangkan sikap partisipatif rakyat.  Â
Secara sederhana memang tindakan-tindakan di dalam trilogi pembangunan sudah dicakup di dalam kiat âpembangunan manusia seutuhnyaâ. Faktor sumber daya insani (SDI) adalah kunci pembangunan untuk mengubah dari bangsa miskin ke bangsa mulia. Modal dan teknologi serta kemampuan manajemen[18] dapat dicari oleh SDI yang mumpuni (professional dan skilled). Pendidikan dan baru kemudian diikuti dengan pelatihan adalah kunci untuk menyiapkan SDI bermutu. Tidak ada cara lain lagi[19]. Untuk mencapai posisi bangsa mulia, sebuah bangsa harus bekerja sangat keras dan sistematis untuk mencapai tujuan utama itu.   Hanya bangsa dengan mutu SDI tinggi saja yang mampu bekerja keras dan benar sehingga tidak sia-sia menghamburkan sumber daya yang dimilikinya. Misalnya, sampai saat ini bangsa Malaysia dan Singapore bekerja 48 jam seminggu. Mereka mulai bekerja jam 7:00 pagi dan selesai jam 17:00 sore dengan istirahat satu jam di tengah. Mereka menghukum pekerja yang merokok dan berbicara ângayawara-ngerumpiâ sambil bekerja. Di dalam sistem pendidikan yang benar (yang mengubah masyarakat menjadi learning society dan thinking society) dapat ditularkan virus âkerja kerasâ dan âkerja benarâ.
Syaratnya adalah para pemimpin dan politisi membangun suasana (disebut juga membangun lingkungan strategik[20]) agar semua pihak dapat memfokus untuk bekerja baik dan membangun prestasi dengan melakukan kerja keras dan kerja benar. Berdasar amanat UUD-1945, landasan manajemen bangsa ini adalah keadilan sosial: membuka kesempatan seluas-luasnya bagi warga negara untuk berprestasi. Pemerintah dan politisi sebaiknya mengambil posisi untuk mengatur proses kerja keras dan kerja benar ini. Elemen keadilan yang lain adalah penghargaan serupa bagi prestasi serupa, oleh siapapun. Bagi yang bekerja memberikan pelayanan agar warga negara mampu berprestasi, - yaitu kelompok intelektual dan akademisi serta yang memberi pelayanan bidang kesehatan â mendapat remunerasi pantas dari pemerintah.
Elemen Lifeskill atau soft skill
Untuk mampu bekerja sebagai agen pembangunan atau agen pembaharu, Unwama akan segera mengembangkan mata kuliah ketrampilan hidup (Lifeskill atau soft skill) yaitu berorganisasi (bekerja di dalam kelompok) dan berkomunikasi agar mampu bekerja mandiri dan dalam kelompok, mengembangkan kemampuan logika untuk mendasari kemampuan kepemimpinan, mampu bekerja keras dan yang lebih penting adalah mampu menegakkan etika profesi dan etika masyarakat.  Mata kuliah ini sudah menjadi tuntutan karena pemerintah menegaskan bahwa lulusan sebuah perguruan tinggi harus mampu berfikir analitis dan logis, bekerja mandiri dan bekerja dalam team (kelompok), mampu berkomunikasi tertulis dan lisan atas ilmu, dengan  menggunakan ilmu, pengetahuan dan teknologi yang diperolehnya. Dengan berbekal ilmu kehidupan ini, lulusan Unwama akan terampil dari segi teknik dan mampumengembangkan diri menjadi manajer atau bahkan menjadi pemimpin suatu kelompok. Ilmu kehidupan ini akan mempermudah lulusan perguruan tinggi melakukan proses âbelajar seumur hidupâ, apalagi proses itu sekarang dimudahkan oleh teknologi informasi dan komunikasi. Ketrampilan ini membuat si lulusan bukan sekedar tukang pandai melainkan profesional handal. Fokus ketampilan bagi profesional adalah mendengar dan kemudian mengunyah (semua) informasi sebagai landasan pengambilan keputusan.
Penutup
Untuk menghapus stigma bangsa miskin dan mengubahnya menjadi bangsa mulia, harus dan pasti harus diawali dengan pendidikan, sebagai satu-satunya cara untuk memperbaiki mutu sumber daya insani. Logikanya dibalik dari deskripsi elemen bangsa: bangsa ? suku ? sub-suku ? kelompok ? keluarga ? individu. Dengan deskripsi ini dimaksudkan bahwa bangsa mulia merupakan integrasi dari elemen terkecil yaitu individu atau disebut juga warga negara (citizen). Makin banyak individu warga negara yang terdidik (kuantitatif dan kualitatif), bangsa itu akan makin mampu berproses menuju bangsa mulia. Dapat dilihat bangsa-bangsa mulia yang warga bangsanya memperoleh hadiah Nobel atau memperoleh banyak sekali hak patent (hak atas kekayaan intelektual) atas penemuan-penemuannya[21]. Semuanya itu diawali dengan pendidikan yang bagus (kualitatif dan kuantitatif). Kemudian dilanjutkan dengan sistem pelatihan yang bagus dan terarah. Sebaliknya, bangsa miskin dan tidak mulia tidak memiliki penerima hadiah Nobel atau patent yang diperolehnya, karena kualitas dan kuantitas pendidikan dan pelatihan yang tidak terfokus sehingga wajar bila kalah dengan bangsa mulia.  Proses pendidikan dan pelatihan yang terfokus ini disebut di dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai usaha untuk âmencerdaskan kehidupan bangsaâ. Bagi Unwama, individu yang terdidiklah yang mampu âmemajukan kesejahteraan umumâ â menuju bangsa mulia.
[1] Dikenal overnight obsolescence = mendadak kuno.
[2]Alat ketik manual ditinggalkan oleh word processor
[3] Konsepnya adalah Student Centered Learning dibantu oleh fasilitas internet.
[4] UU SisDikNas nomor 20/2003
[5] Maksudnya adalah semua pihak bertanggung jawab atas tugasnya, tidak perlu mencari kambing hitan untuk ditimpakan kesalahan atau ketidak mampuannya. Konsep ini mengajarkan semua pihak untuk berani dan siap bertanggung jawab. Konsep ini juga mengajarkan seseorang untuk memenuhi dharmanya (tugas pokok yang dengan rela dipilihnya).
[6] Kamus menyebut egalitarian adalah prasyarat masyarakat demokratis. Di Unwama prasyarat ini ditambah dengan âdemokratis yang berpikirâ
[7] Keyakinan ini juga menimbulkan gugatan sekelompok orang karena penjajahan atas âIndonesiaâ tidak terjadi bertahun-tahun seperti yang dijadikan retorika sekarang ini (350 tahun). Selain itu konsep âpenjajahanâ oleh suatu negara (Belanda) kepada suatu bangsa (Indonesia) tu juga masih terbuka untuk didebatkan. Penjajahan selama 350 tahun menafikan bahwa Pancasila digali dari khasanah dan sudah ada dikandungan bangsa selama berabad-abad. BIla akan disinkronkan dengan âpenjajahan tiga setengah abadâ, dapat dimaknai bahwa Pancasila adalah sebuah konsep kekalahan suatu bangsa.
[8] Â cultuur stelsel atau Tanam Paksa 1860-1865Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
[9] Tokoh Indonesia, Edisi 21 tanpa tahun (dibagikan ke Unwama sekitar bulan Juni 2005).
[10] WTO= World Trade Organization
[11] Tentang globalisasi, harap membaca kritik-kritik Joseph Stiglitz di dalam The Discontent of Globalization.2002. Juga dapat dibaca di dalam Paul Hirst dan Grahame Thompson. Globalisasi Adalah Mitos. Yayasan Obor Indonesia.2001.
[12] Para mahasiswa dapat mencari informasi besarnya hutang era Presiden Sukarno dan besarnya hutang era Presiden Suharto.
[13] Pemerintah SBY-MJK menaikkan harga BBM rakyat (minyak tanah) sejak 1 Oktober 2005.
[14] Bila masyarakat jeli mencatat, akan makin nampak bahwa pemerintah ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk masyarakat. Karena itu, sebaiknya rakyat menolong dirinya sendiri.
[15] Maksudnya, mendanai pembangunan dengan mengandalkan tabungan nasional yang diperoleh sebagai akibat seluruh masyarakat berproduksi banyak, berhemat dan hidup sederhana tidak berlebihan (prudent).
[16] Karena sikap sebagai âeconomic animalâ menimbang segalanya dari segi ekonomi.
[17] Timbullah white collar crime: korupsi, kolusi, nepotisme/kroniisme.
[18] Kemampuan manajemen= memiliki managerial skill dan menerapkan RATER (Reliable- dapat diandalkan, Assuring-meyakinkan,Tangible-hasilnya nyata, Empathy-Setiakawan, Responsive-segera bertindak).
[19] John Kenneth Gabraith. 1976. The Nature of Mass Poverty. Harvard Business School.
[20] Di Era Orde Baru disebut IPolEkSosBudHanKam = Ideologi, Politik, Sosial, Budaya, Petahanan, Keamanan
[21] Di dalam hal ini hiburannya adalah kemenangan siswa-siswa SMA di berbagai âOlympiade Ilmuâ yang menunjukkan bahwa elemen bangsa Indonesia juga cerdas dan pandai. (...........maka bacalah terlebih dahulu sebelum berkomentar) G.SunArdhie/humas.